ICW: Terdakwa Korupsi Divonis Bebas dan Lepas Pada 2019 Meningkat

Jakarta – Penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa tren vonis kasus korupsi di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan terhadap terdakwa yang divonis bebas atau lepas sepanjang 2019 dibanding periode sebelumnya.

“Pengadilan memutuskan bebas dan lepas terhadap perkara korupsi tertinggi pada 2019 dibanding 2017 dan 2018 karena pada 2017 ada 35 orang terdakwa yang divonis bebas atau lepas, pada 2018 ada 27 orang terdakwa sementara pada 2019 ada 54 orang terdakwa,” kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana di Jakarta, Minggu.

Pada putusan bebas (vrijspraak) artinya tindak pidana yang didakwakan jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum karena tidak dipenuhinya asas minimum pembuktian yaitu 2 alat bukti yang sah dan tidak dapat meyakinkan hakim.

Sedangkan putusan lepas (onslag van recht vervolging) artinya segala tuntutan hukum atas perbuatan terdakwa dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum tapi terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, misalnya masuk ke pelanggaran hukum perdata, hukum adat atau hukum dagang.

Sepanjang 2019, ICW mencatat ada 842 orang terdakwa divonis ringan (82,2 persen), diputus sedang 173 orang (16,9 persen), diputus beras 9 orang (0,9 persen) dan diputus bebas/lepas sebanyak 54 orang (5,2 persen) yang berasal dari 1.019 perkara korupsi.

Besaran ringan adalah bila dituntut penjara dari 0-4 tahun, sedang 4-10 tahun dan berat di atas 10 tahun

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjadi pengadilan yang paling banyak menjatuhkan vonis bebas atau lepas yaitu terhadap 17 orang terdakwa disusul pengadilan negeri Aceh sebanyak 10 orang terdakwa, Pengadilan Negeri Jayapura dan Pengadilan Negeri Manado masing-masing 5 terdakwa dan pengadilan-pengadilan lainnya.

“Perkara-perkara ini harus dilihat kembali putusannya karena khawatir putusan bebas/lepas itu tidak berdasar pertimbangan objektif sehingga penting untuk eksaminisai vonis pengadilan tipikor terdakwa yang divonis/bebas lepas atau kesalahannya memang ada di penegak hukum yang tidak serius dalam konteks pembuktian dan merumuskan surat dakwaan,” ungkap Kurnia.

Dari antara vonis bebas dan lepas itu, ICW mencatat dua putusan kontroversial yaitu putusan lepas mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung dalam kasus dugaan korupsi penerbitan surat keterangan lunas obligor Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) di tingkat kasasi dan putusan bebas mantan Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir dalam perkara dugaan korupsi proyek PLTU Riau-1.

“Di kedua perkara ini melibatkan aktor-aktor politik dan kerugian negara yang besar,” tambah Kurnia.

Dalam perkara Syafruddin, di tingkat kasasi tiga orang majelis hakim berbeda putusannya yaitu hakim anggota I, Syamsul Rakan Chaniago berpendapat bahwa perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum perdata, hakim anggota anggota 2 Mohamad Asikin berpendapat bahwa perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum adminsitrasi dan ketua majelis hakim Salman Luthan menyatakan perbuatan tersebut masuk dalam pidana korupsi.

“Kasus ini menjadi kontroversial karena kerugian negara besar yaitu Rp4,58 triliun dan selalu menjadi kasus yang diperbincangkan tapi malah divonis lepas, KPK memang sendang mengajukan PK agar majelis bisa menganulir putusan kasasi tersebut sedangkan untuk kasus Sofyan Basir yang merupakan putusan bebas ke-3 di KPK menjadi kontroversial karena sejak putusan Idrus Marham dan Eni Saragih keterlibatan Sofyan Basir sudah banyak disebutkan yaitu membantu suap swasta ke penyelenggara negara,” jelas Kurnia.

Selain peningkatan vonis bebas/lepas, menurut Kurnia, masih terjadi disparitas hukuman.

Dalam catatan ICW perkara-perkara dengan kerugian negara besar masih kerap divonis ringan oleh majelis Hakim. Hal ini berbeda dengan perkara lain yang memiliki kerugian negara kecil namun justru dihukum berat. Tak hanya itu, perkara suap pun menjadi sorotan, dengan karakteristik latar belakang profesi serupa akan tetapi vonis diantara keduanya berbeda jauh.

“Misalnya dua terdakwa sama-sama kepala desa, yang satu merugikan negara sebanyak Rp542,168 juta sedangkan yang satu lagi Rp42 juta tapi yang merugikan negara Rp542 juta divonis 2,5 tahun penjara sedangkan yang merugikan negara Rp42 juta divonis 4 tahun penjara, ini terjadi di pengadilan negeri Makassar dan pengadilan negeri Banjarmasin,” ungkap Kurnia.

Kasus lain adalah sama-sama direktur suatu perusahaan dengan satu orang merugikan keuangan negara sebesar Rp1,745 miliar dan satu lagi Rp500 juta, terdakwa yang merugikan Rp1,745 miliar divonis 1 tahun 4 bulan penjara sedangkan yang merugikan keuangan negara Rp500 juta malah kena 4 tahun 5 bulan penjara.

Begitu pula dalam kasus suap terhadap sekretaris desa, ada yang menerima suap Rp245 juta divonis 1 tahun dan seorang kepala seksi evaluasi dan pelaporan yang menerima Rp30 juta juga divonis 1 tahun penjara.

“Disparitas pemidanaan jadi isu krusial yang belum terselesaikan pada tahun 2019. Efek sampingnya adalah ketika masyarakat melihat ada putusan tidak adil karena orang yang merugikan negara miliaran rupiah divonis ringan sedangkan yang puluhan juta malah divonis berat jadi kesimpulan yang ada di masyarakat yaitu hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas masih terjadi di republik,” tambah Kurnia.

Kurnia meminta Ketua Mahkamah Agung yang baru yaitu Muhammad Syarifuddin harus memberikan atensi serius terhadap tren vonis yang masih ringan terhadap pelaku korupsi agar tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

“Langkah untuk menyusun pedoman pemidanaan di MA mesti disegerakan, sudah ada bahasan di internal MA pada akhir 2019, kita tunggu di era ketua MA baru ini agar pedoman bisa selesai misalnya dijadikan pekerjaan rumah 100 hari ketua MA baru untuk bisa mengesahkan pedoman dan dipublikasikan agar disparitas hukuman tidak lagi terjadi,” tegas Kurnia.

Ia juga meminta agar penegak hukum baik Kejaksaan Agung maupun KPK memanfaatkan dengan baik pedoman penuntutan saat menangani terdakwa korupsi.

“Kejaksaan sudah ada pedomannya tapi belum maksimal diimplementasikan dan pedoman ini masuk dalam poin strategi nasional pencegahan Tipikor yang digadang-gadang Presiden Jokowi karena sering ditemukan tuntutan masih jomplang,” kata Kurnia. (Ant)